SERIAL UMAR BIN KHATTAB (episode 3)

Kebijakan Pemerintahan Umar untuk kaum Sipil dan Militer


Karena wilayah kekuasaan rezim pemerintahan Umar makin meluas kemana-mana, maka Umar harus membuat sebuah sistem pemerintahan. Akan tetapi bangsa Arab tidak memiliki pengalaman sedikitpun tentang masalah sistem pemerintahan ini. Oleh karena itu, Umar membiarkan sistem pemerintahan peninggalan Persia dan Romawi di daerah-daerah yang telah ia kuasai tetap berjalan sebagaimana biasanya. Para aparat yang menjalankan sistem pemerintahan itu juga dibiarkan menjalankan tugasnya sehari-hari seperti sebelumnya.

Umar kemudian mendirikan banyak sekali daerah-daerah militer di Irak, Syria, dan Mesir. Karena Umar menginginkan bangsa Arab sebagai kelas penguasa dan petarung, maka Umar tidak mengijinkan merak membeli tanah dan bermukim atau bertani di daerah-daerah yang sudah ditaklukannya. 

Untuk menarik pajak tanah, Umar juga mempertahankan sistem yang telah ditetapkan dan pernah dijalankan oleh bangsa Persia dan Romawi. Akan tetapi di Irak ditemukan bahwa mereka harus mensurvey tanah-tanah yang subur yang sangat bisa ditanami agar tanah-tanah itu bisa ditarik pajaknya. Bangsa Arab pada waktu itu sama sekali tidak mengetahui apapun tentang penarikan pajak atas tanah. Terkecuali salah seorang Arab yang bernama Utsman bin Hunaif yang tinggal di Madinah . Ia adalah orang yang sangat piawai dalam hal pemberlakuan dan penarikan pajak. 

Meskipun Umar memiliki kebijakan politik untuk tidak memilih satu orang Ansar pun untuk jabatan-jabatan penting, akan tetapi untuk hal ini ia tidak memiliki pilihan lain. Umar terpaksa mengangkat Utsman bin Hunaif untuk bertugas sebagai pengawas urusan tanah di Irak. Qadi Yusuf menyebutkan bahwa Utsman bin Hunaif itu megurus perpajakan di seluruh jazirah Arab. Ia juga bertugas untuk menentukan pajak penghasilan tanah dan mengurus reklamasi tanah (LIHAT: Kitabul-Kharaj dan Siyar-ul-Ansar).

Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun saja, Utsman bin Hanif berhasil menyelesaikan tugasnya mengukur tanah di seluruh provinsi yang baru dan kemudian menentukan pajak dari masing-masing tanah yang sudah diukurnya itu.

Utsman bin Hanif akhirnya diangkat menjadi Komisaris Keuangan pertama di Irak dan secara kebetula ia menjadi salah seorang Ansar yang jumlahnya sedikit sekali yang berhasil menjadi petugas yang memiliki otoritas di jaman rezim kekhalifahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Utsman bin Affan. 

Ketika Syria, Yordania, dan Palestina ditaklukan, Umar bin Khattab menunjuk Yazid bin Abu Sufyan sebagai gubernur Syria. Sedangkan untuk Yordania ditunjuk Syurahbil bin Hasana sebagai guberunurnya dan untuk Palestina ditunjuk Amr bin Aas sebagai gubernurnya. Sementara Abu Ubaidah bin al-Jarrah ditunjuk sebagai gubernur kota Damaskus.

Ketika Amr bin Aas menaklukan Mesir, Umar menunjuknya menjadi gubernur Mesir. Yazid bin Abu Sufyan sendiri sebagai gubernur Syria meninggal pada peristiwa bencana wabah penyakit menular pada tahun 18H. 

Ketika Umar mendengar berita tentang kematiannya itu, ia pergi untuk menjenguk Abu Sufyan (ayahnya Yazid) untuk menyampaikan rasa duka citanya. Akan tetapi Abu Sufyan menukas Umar dengan bertanya, “SIapa nantinya yang akan engkau tunjuk untuk menggantikan kedudukan anakku Yazid yang sudah meninggal itu?” Umar menjawab, “Tentu saja orang yang akan menggantikannya itu ialah saudaranya sendiri, Mu’awiyah.” Dengan segera saja Abu Sufyan melupakan kesedihannya atas meninggalnya anaknya itu dan ia segera merayakan penunjukkan puteranya yang kedua, yaitu Mu’awiyah, sebagai gubernur Syria.

Ketika Abu Ubaidah meninggal dunia, Umar memasrahkan kota Damaskus di bawah kekuasaan Mu’awiyah. Umar menetapkan gaji Mu’awiyah sebesar 60,000 keping uang emas per tahun (LIHAT: al-Isti’ab, volume I)

Setelah memecat Khalid bin al-Walid sebagai jenderal perang di Syria, Umar menunjuk Khalid sebagai gubernur distrik Kinnisirin untuk sementara waktu akan tetapi setelah itu, Umar kembali memecatnya dengan tuduhan bahwa Khalid itu selalu bersifat “sombong”.

Sa’ad bin Abi Waqqas sebagai salah seorang pemenang Perang Qadisiyyah—berperang dengan orang-orang Persia—ditunjuk menjadi gubernur Umar di Irak. Ia juga kemudian dipecat pada tahun 21H. 

Amr bin Aas menjadi gubernur-nya Umar untuk Mesir. Umar tidak memecat Amr bin Aas akan tetapi Umar membatasi kekuasaannya dengan menunjuk Abdullah bin Saad bin Abi Sarah sebagai “watchdog” (orang yang mengawasi tindak tanduk orang lain) untuk mengawasi Amr bin Aas terutama yang menyangkut masalah keuangan. 

Umar itu terkenal sekali sebagai orang yang sangat teliti dalam masalah kekuasaan dan penugasan para jenderal dan gubernurnya. Umar sangat sensitif dengan desas-desus atau keluhan yang berkaitan dengan para pembantunya itu. Kalua sedikit saja ada keluhan, maka ia akan cepat-cepat memecat mereka tanpa mengenal ampun. Akan tetapi itu tidak berlaku bagi satu orang—satu nama—yaitu MU’AWIYAH! Umar sangat memanjakan putera-putera dari Abu Sufyan dan klan Bani Umayyah. 





Mu’awiyyah bin Abu Sufyan putera dari Hindun, menjadi gubernur Syria dan ia tinggal di kota Damaskus dan hidup dalm kemewahan sebagai seorang raja dikelilingi oleh dayang-dayang dan para pengawal yang banyak. Sebenarnya gaya hidup seperti itu tidak disukai oleh Umar. Umar tidak suka para gubernurnya hidup mewah seperti itu. Akan tetapi Mu’awiyah adalah sebuah kekecualian. Bagi Mu’awiyah Umar menerapkan aturan yang “spesial”. Aturan yang berlaku bagi para gubernur yang lain, tidak berlaku bagi Mu’awiyah.
Di dalam Tarikh-nya (Tarikh, vol. VI), Tabari mencatat sebuah peristiwa sebagai berikut: 

Umar pada suatu ketika berada di Damaskus dan Mu’awiyah mengunjunginya setiap hari—baik itu di pagi hari maupun di malam hari—datang dengan busana mewah seperti yang dikenakan oleh para raja lengkap dengan hiasan dan pernak-pernik kemewahan diiringi para pengawalnya yang lengkap. Ketika Umar berkomentar sedikit sinis dengan penampilannya itu, Mu’awiyah berkata bahwa Syria itu dipenuhi oleh mata-mata dari Romawi, dan ia merasa perlu untuk memberikan kesan kepada para mata-mata Romawi itu agar terkesan dengan “kejayaan” Islam. Jadi tampilan kemewahan yang ia tampilkan itu semata-mata untuk memberikan kesan di luar bahwa Islam itu jaya. 
Akan tetapi Umar tidak yakin dengan hal itu, dan untuk itu ia menukas: “Itu adalah jebakan yang dibuat oleh orang licik dan culas.” Mu’awiyah menjawab: “Kalau begitu aku akan melakukan apa saja yang engkau katakan, ya Amirul Mukminin.” Umar kemudian berkata: “Apabila aku berkeberatan kepads sesuatu (yang engkau lakukan), engkau langsung mengatakan sesuatu yang membingungkan aku. Aku jadi tidak tahu lagi harus melakukan apapun.”
Di sini Umar terlihat sekali sangat “tidak berdaya” di hadapan anak buah kesayangannya itu. Umar bisa dengan mudah memberikan ampunan dan ma’af kepada Mu’awiyah atas apapun yang dilakukan olehnya. Umar malah mempertunjukan sikap ramah yang luar biasa kepada Abu Sufyan dan para puteranya. 

Sekali mereka (keluarga Bani Umayyah) diberikan kedudukan dan kekuasaan—diberikan tugas dan mandat serta kewajiban—maka mereka akan memperkuat kedudukan mereka agar kedudukan mereka itu tidak bisa lagi diambil oleh siapapun. Dengan cara inilah maka keluarga Bani Umayyah yang memiliki sifat penjajah dan penindas berkuasa atas kaum Muslimin selama beberapa abad lamanya.

Tampaknya, penjajahan yang dilakukan oleh Bani Umayyah terhadap kaum Muslimin itu sejalan dengan kebijakan politik yang telah berjalan semenjak peristiwa Saqifah. (LIHAT: Peristiwa Saqifah yang mengantarkan Abu Bakar menjadi Khalifah)

Comments

loading...

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)

Karbala Berduka, Rasulullah pun berduka (klik gambarnya untuk mendapatkan e-book spesial!)
Ya, Syahid! Ya, Madzhlum! Ya, Imam! Ya, Husein!

Rekanan Islam Itu Cinta